Menidurkan anak saya sendiri malam ini membuat saya mengingat kembali cerita-cerita masa kecil saya yang dituturkan oleh Ibu, bude/ pakde, dan sepupu-sepupu. Salah satunya saat saya berucap, "lebih baik miskin."
Suatu hari, saya sangat menginginkan sebuah tas seperti yang dimiliki teman-teman di sekolah. Walaupun harganya tidak terlalu mahal, hari itu sudah hampir akhir bulan dan Ibu sudah tidak punya uang untuk hal-hal semacam itu. Ibu berkata, "sekarang tidak ada Bapak. Uang Ibu hanya cukup untuk kebutuhan makan dan sekolah. Kalau Mba Dya mau punya bapak lagi, mungkin masih ada uang lebih karena ada yang bantu."
Saat itu, 'punya bapak lagi' itu artinya sama dengan 'kehilangan Ibu'. Gagah saya berkata, "lebih baik miskin daripada punya bapak lagi!"
Saat itu, saya tidak tahu bahwa bapak berarti Ibu bisa punya teman lagi. Selain baru menyadari betapa bodohnya saya, saya juga baru memahami bahwa Ibu saya begitu berhasil membuat anaknya sangat mencintainya. Lebih dari cinta saya ke harta benda (walaupun saat itu hanya tas, mainan, baju. Tetapi, bagi anak kecil, itu sudah sangat menggiurkan).
Tantangan saya saat ini, bisakah saya membuat anak saya begitu mencintai saya minimal seperti saya mencintai Ayinya (anak saya memanggil Mbah Utinya 'Ayi')? Beberapa hari terakhir membuat saya tersadar bahwa kemungkinan kami tidak bisa memasukkan dia ke sekolah yang mahal, tidak bisa membelikannya sepatu bermerk, tidak cukup tebal dompet untuk mengajaknya ke taman bermain di mall. Mungkin sekali waktu bisa ke mall, dengan menabung, sekolahnya pun tidak akan jelek karena suami saya sudah menekankan bahwa sekolah adalah prioritas. Saya tidak mau menghilang-hilangkan rejeki yang diberikan Tuhan kepada kami. Saya juga tidak bermaksud merendahkan kemampuan suami mencari uang because swear to God he is marvelous. Namun, saya tidak bisa memungkiri bahwa di luar sana ada banyak orang yang secara finansial lebih mampu daripada kami. Pikiran kacau ini masih ada di kepala saya terkadang. Mungkinkah jika bisa, anak kami akan memilih orang tua yang lebih mampu daripada kami? Saya tidak ingin anak kami merasa 'terpaksa' menjadi anak kami karena Tuhan menempatkannya dalam rahim saya.
Anehnya jalan pikiran saya ini...
Nite,
Dya
Sunday, 19 May 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment